Sabtu, 08 November 2014

Cerpen Sahabat Ku



Suaramu Cahayaku

Sejak kecelakaan itu, duniaku berubah menjadi gelap. Hanya warna hitam yang dapat ku lihat. Aku muak melihat warna yang hitam kelam seperti ini. Warna hitam ini mengurungku. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa lepas dari warna hitam ini, dan melihat warna yang lebih indah.
"Mama, apa aku bisa melihat warna selain warna hitam suatu saat nanti?" tanyaku pada Mama.
"Tentu saja sayang, kamu pasti bisa melihat warna yang jauh lebih indah dari warna hitam yang kamu lihat sekarang ini" jawab Mama dengan suara serak.
"Kalau cahaya? Elena sudah lama tidak melihat cahaya" ucapku lagi sambil memeluk boneka pemberian Papa.
"Iya, nanti Elena pasti bisa melihat cahaya… " jawab Mama lagi.
Hiks…
Ya, aku dengar isak tangis itu. Itu suara mamaku. Mamaku menangis… aku tidak ingin Mama menangis lagi. Walaupun Mama berusaha menyembunyikan tangisannya itu dariku, tapi aku tetap bisa mendengarnya. Karena sejak kecelakaan yang merenggut penglihatanku itu, pendengaranku menjadi lebih tajam.
Tuhan, kapan aku bisa melihat dunia bersama Mama lagi? Kata Mama, sebentar lagi. Tapi, sebentar itu rasanya lama. Apa karena aku tidak bisa melihat jam? Jadi waktu terasa lama? Kalau waktu terasa lama, sebaiknya kita tidak memikirkannya kan? maka waktu akan cepat berlalu. Tapi apa yang bisa kulakukan selama aku menunggu waktu berjalan? Aku ingin cepat-cepat melihat dunia. Aku akan menunggu waktuku untuk melihatnya.
Tuan Waktu… kumohon, cepatlah berjalan. Larilah! Tapi Tuan Waktu tetap tidak mau berlari.
"Mama, Mama dimana?" tanyaku sembari meraba-raba setiap sudut yang dapat kujangkau.
Tak ada jawaban dari Mama. Mama pasti sedang bekerja. Ya… Mama bekerja demi pengobatanku. Agar aku dapat melihat kembali. Mama bekerja keras untuk itu, sejak Papa meninggal. Aku tahu Mama sangat lelah, tapi Mama selalu menjawab pertanyaanku dengan ceria, mengelus kepalaku, sambil berkata 'Mama baik-baik saja, sayang… Jangan khawatir' Walaupun Mama menjawab pertanyaanku seperti itu, aku tahu Mama sangat lelah. Kadang aku ingin menangis jika Mama memaksakan dirinya, sedangkan aku tak bisa berbuat apa-apa. Tapi, jika aku menangis, bukankah itu akan membuat Mama bersedih? Aku tidak ingin membebani Mama.
Sendiri.
Aku sendiri tanpa Mama.
Kembali lagi kedalam warna hitam kelam yang luas.
Tidak ada siapa-siapa. Aku…Sendiri.
"Elena!"
Siapa? Siapa yang memanggilku?
"Elena! Ayo kita main!"
Suara siapa ini? Aku baru pertama kali mendengarnya.
"Kita main apa ya? aku bingung"
Anak laki-laki. Ini suara anak laki-laki. Tapi, kenapa bisa berada disini? Bagaimana dia masuk ke rumah?
"Kalau Elena mau main apa?"
Tunggu, ini benar-benar suara anak laki-laki! Suara yang nyata. Siapa dia? Aku tidak pernah bergaul dengan anak-anak lain. Tahu namanya saja tidak. Jika aku keluar rumah, mereka pasti akan mencelaku karena aku tidak bisa melihat. Tapi anak ini…
"Leeen!"
"He-eh?" Aku terkejut.
"Kenapa malah diam saja? Dari tadi aku memanggilmu tahu!" protes anak itu karena aku tak kunjung menjawab pertanyaan yang dilontarkannya. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Ka-Kamu siapa?" Tanyaku terbata-bata "Ke-Kenapa ada disini? B-Bagaimana kamu masuk?"
"Aku memang selalu disini kok! Ibumu juga tahu! Bahkan Ayahmu yang sudah meninggal"
"Ba-Bagaimana kamu tahu soal Ayahku? La-Lalu… namamu siapa? Aku baru dengar suaramu, apalagi kau memanggilku dengan panggilan ‘Len’. Tahu darimana kamu?" ujarku kebingungan. Padahal hanya kedua orangtuaku yang suka memanggilku dengan nama pendekku.
"Puh… hu hu…"
'Ke- Apa yang ditertawakan anak itu?' Aku tak habis pikir.
"Nanti, kamu akan mengetahuinya Len. Selagi Tuan Waktu berjalan, kita main ya!" ajak anak laki-laki itu. Bahkan dia tahu soal 'Tuan Waktu'? aku yakin, aku tak pernah berbicara pada siapa pun soal Tuan Waktu. Bahkan Mama. Orang terdekat, dan satu-satunya yang aku miliki.
"Mustahil kamu mengetahui itu… siapa kamu sebenarnya?" tanyaku penasaran. Aku benar- benar penasaran pada anak ini.
"Panggil saja aku Joe!" ucap anak itu semangat.
"J-Joe?" tanyaku lagi.
"Ya! Joe! Len, aku mau main sesuatu!" ucap Joe. Begitulah ia menyuruhku memanggilnya.
"Ma-Main? Main apa?"
"Apa saja! Yang penting Elena juga suka! Karena permainan yang menyenangkan bagiku, jika Elena menyukai permainan itu!" ucap Joe bersemangat.
Anak ini… kenapa ya? mau-maunya main denganku yang tidak bisa melihat ini.
"Elena, aku akan menemanimu dalam kegelapan ini. Jangan khawatir… Aku akan selalu ada disampingmu! Sampai kamu berhasil melihat cahaya dan warna yang lebih indah dari warna hitam"
Hangat.
Kenapa aku merasa hangat seperti ini? Apa karena Joe berkata begitu? Aneh sekali… Tapi, sangat menyenangkan.
"Leeen… kamu dimana sayang? Mama pulang. Mama bawakan roti kesukaanmu, lho" terdengar suara Mama dari ruang tamu. Mama baru saja pulang kerja.
"Joe, Mamaku sudah pulang! Kamu dengar? Mamaku membawa roti kesukaanku lho… Ayo kita makan sama-sama! Pasti kamu suka!" ajakku pada Joe sembari meraba-raba kedepan, berusaha meraih tangan atau salah satu bagian tubuh Joe, tapi tak kunjung kudapatkan. Hanya ada boneka Ayah dihadapanku.
"Elena saja… aku tidak lapar, nanti kita lanjutkan mainnya ya. Aku tunggu disini" ujar Joe.
"Eh? Begitu? kalau begitu, aku mau melihat Mama dulu" ucapku pada Joe. Aku bisa mendengar Joe tertawa kecil.
"Elena, kamu sedang apa? dari tadi Mama memanggilmu"
"Hehe… Elena habis main!" jawabku gembira. Karena akhirnya aku tidak sendirian.
"Dengan siapa?" tanya Mama penasaran. Aku dapat mendengar Mama meletakkan sesuatu diatas meja, pasti itu rotinya. Tentu saja Mama penasaran begitu, selama ini aku tidak pernah bermain bersama siapa pun.
"Lihat saja dikamar Elena. Mama pasti tahu!" jawabku bersemangat sambil mencoba mengambil roti yang ada di meja makan. Ya. ini semua karena Joe.
Aku mendengar langkah kaki Mama. Dia menuju kamarku. Tempat Joe berada. Lalu, aku mendengar langkah kakinya lagi. Kali ini Mama kembali kesini.
"Oh… Iya Sayang" kata Mama. Aku hanya tersenyum sembari memakan roti Mama yang berhasil ku raih. Roti ini memang selalu enak. Entah kenapa sekarang rasanya lebih enak dari yang sebelumnya.
"Mama, aku sudah selesai dengan rotiku. Aku mau kekamar dulu" ucapku, lalu pergi ke kamar sambil meraba-raba setiap sudut. Kamarku tidak terlalu jauh, jadi aku dapat dengan mudah pergi kesana. Aku tidak sabar bermain dengan Joe.
Akhirnya aku sampai dikamarku. Aku mulai meraba-raba kedepan.
"Joe? Kamu masih disini?" tanyaku masih meraba-raba kedepan "Joe?"
"Elena! Aku disini! Aku ditempat tidur" Itu dia. Suara Joe yang bersemangat. Aku sangat menyukainya. Kalau aku bisa melihat, pasti wajahku sudah merona.
"Joe, ternyata kamu masih disini! Aku senang!"
"Sudah kubilang kan? Aku akan selalu menemani Elena, selama Elena melihat warna hitam dan menunggu Tuan Waktu berjalan" ucap Joe sambil sedikit tertawa. Sekarang wajahku pasti sudah sangat merah.
"A-Ah! Ayo kita main Joe!" aku berusaha mengganti topik, karena kalau Joe berkata begitu lagi, itu membuatku terlalu bahagia, dan membuat wajahku makin merona.
"Iya! Elena yang lagi malu-malu lucu deh!" jawab Joe sambil tertawa kecil. Sontak perkataan Joe membuatku makin… susah diungkapkan.
"J-Joe! Berhenti menggodaku!" bentakku sambil menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya.
"Iya, iya… maafkan aku. Kita main tebak suara hewan ya!" ajaknya sambil mulai menirukan beberapa suara hewan. Walaupun tidak mirip dengan suara apapun, tapi aku bisa menebaknya dengan benar. Suara Joe yang tidak bisa menirukan suara hewan membuatku tertawa, tersenyum, dan aku hampir saja lupa bagaimana rasanya sendirian ditengah kegelapan.
Puas bermain, aku mulai merebahkan tubuhku di ranjang yang empuk. Aku terlalu lelah tertawa karena Joe. Suaraku jadi serak tapi sangat menyenangkan. Baru pertama kali aku seperti ini sejak duniaku mulai berwarna hitam.
"Haahh… Joe, tanggung jawab! Suaraku jadi serak nih… gara-gara kamu terlalu lucu! Perutku juga jadi sakit karena tertawa" ucapku pada Joe yang juga sudah lelah tertawa. Aku bisa mendengar suara tawanya. Lalu aku pun ikut tertawa lagi karenanya.
"Joe, kau tahu? Dunia yang gelap di mataku ini… kurasa tidak terlalu buruk"
"Kenapa?"
"Karena ada Joe sekarang"
"Begitu?"
"Iya. Aku sangat menikmati waktuku bersamamu. Aku sudah tidak mempermasalahkan soal Tuan Waktu yang berjalan lamban. Walau aku hanya bisa mendengar suaramu, itu saja sudah membuatku bahagia ditengah-tengah kegelapan" ucapku pada Joe. Tanpa terasa, ujung-ujung bibirku terangkat saat mengatakan hal itu. Aku… tersenyum tanpa sadar.
"Aku senang kamu berkata begitu Len" jawab Joe dengan lembut. Seandainya aku bisa melihat, apa wajah Joe merona ya? kalau iya… rasanya senang sekali.
"Joe, kamu menemaniku saat aku melihat warna hitam ini. Jika aku sudah bisa melihat warna lain, temani aku juga ya?" pintaku pada Joe.
Tak ada jawaban dari Joe.
"Joe, kamu masih disini? Kamu dimana?" tanyaku sambil berusaha meraba-raba sekitarku. Tentunya posisiku sedang tidur, jadi aku hanya bisa menjangkau area ranjangku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menyentuh pipiku. Hangat. Tangan siapa ini? Apa ini tangan Joe? Apa tangan Joe begitu hangat dan nyaman seperti ini?
"Joe…"
Sekarang tangan itu menyibak poniku. Membawanya kesamping dengan perlahan. Membelai rambutku dengan lembut. Aku sangat suka belaian tangan Joe. Itu membuatku mulai tertidur. Terbuai dalam mimpi. Anehnya, aku tidak tahu aku sudah memasuki alam mimpi atau belum. Joe mencium keningku. Hangat. Kuharap ini bukanlah mimpi, tapi aku benar-benar tertidur sekarang.
"Elena…"


Kriiiinngg...
Alarmku berbunyi. Sekarang sudah pagi. Jadi kemarin aku benar-benar tertidur? Mama bagaimana ya? lalu Joe… Pasti Joe sudah pulang kemarin… aku tidak dapat berbicara lebih lama dengannya kemarin. Tunggu, kemarin… Ah! Iya! Kemarin Joe mencium keningku! Uwaahh… pasti wajahku memerah sekarang! Tunggu. Tapi waktu itu aku mulai tertidur kan? apa itu mimpi? Kalau mimpi, menyebalkan sekali. Aku lebih suka itu menjadi kenyataan.
Tok, tok, tok, "Sayang, kamu sudah bangun? Kalau sudah, ayo sarapan. Mama tunggu di meja makan"
"I-Iya Ma… Len kesana sekarang" soal Joe nanti saja aku pikirkan lagi.
Harum. Mama pasti sudah selesai memasak sesuatu. Aku terus berjalan ke meja makan sembari meraba-raba setiap sudut.
"Elena, ayo makan. Kemarin kamu tertidur dan melewatkan makan malam. Sekarang makanlah"
"Uhm!"
Tluk, Mama mengambilkanku masakannya. Aku bisa mendengar suara denting sendok yang Mama pakai. Aku mulai memakannya, dan rasanya sangat enak. Masakan Mama memang benar-benar enak. Kami pun mulai makan bersama.
"Sayang, ada yang harus Mama beritahu padamu" ucap Mama ditengah-tengah sarapan berlangsung.
"Ada apa Ma?" ucapku, lalu berhenti mengunyah makananku.
"Kemarin Mama sudah menemukan orang yang mau mendonorkan matanya. Besok kita akan kerumah sakit. Mungkin ini mendadak, karena besok kamu akan dioperasi, tapi tenanglah, semua akan baik-baik saja.." ucap Mama, lalu Mama menitikkan air mata. Terdengar olehku Mama mulai terisak "A-Akhirnya, kamu bisa melihat dunia yang berwarna lagi sayang" tangisan Mama pecah lalu Mama memelukku dengan erat.
"Mama… Terima kasih Ma… Elena… hiks" aku pun ikut terisak. Aku sangat senang. Akhirnya, aku bisa melihat cahaya lagi! Melihat dunia! Melihat warna selain warna hitam!
"Sayang… Mama bahagia sekali, akhirnya setelah sekian lama… Kamu beruntung sayang! Kamu tidak akan menderita lagi. Terima kasih Tuhan, kau telah memberi kesempatan untuk anakku satu-satunya. Ayah, apa kau dengar? Anakmu akan bisa melihat lagi!"
Kini Mama memelukku erat. Tubuhnya gemetar. Aku tahu betapa bahagianya Mama. Terima kasih Tuhan, aku mempunyai Mama sebaik ini. Ayah, apa kau melihat kami? Aku sangat bahagia. Terima kasih banyak Tuhan. Tuan Waktu, kamu berhasil!
"Emm… Sayang, Mama harus berangkat sekarang. Kali ini Mama harus kerja pagi. Habiskan sarapanmu ya… Mama akan pulang secepat yang Mama bisa" ujar Mama sambil mengusap pipinya yang basah karena air mata. Lalu mengusap kepalaku sebelum ia pergi meninggalkanku.
"Iya Ma, hati-hati. Elena akan menunggu Mama pulang" sahutku sembari melambaikan tangan.
Blam.
"Sekarang apa yang harus kulakukan? Sendirian…" gumamku. Sejujurnya aku benci sendirian didalam kegelapan. Tidak ada suara yang bisa kudengar ditengah rumah yang sepi begini. Seandainya ada Joe… aku ingin memberitahunya berita ini. Karena dia, warna hitam menjadi lebih baik.
Tap, tap, tap.
Klek, aku berhasil membuka pintu, lalu berjalan masuk kedalam kamar sambil meraba-raba kedepan. Aku dapat meraih ranjangku. Aku pun duduk disana. Termenung. Aku ingat kemarin aku tertawa bersama-sama dengan Joe. Ya, disini. Waktu itu sangat menyenangkan. Tapi sekarang… tidak.
"Joe…"
"Ya?"
"Uwaah! Joe!? Kaukah itu?" tanyaku yang spontan terlonjak kaget saat tiba-tiba ada yang menjawabku. Tidak salah lagi! Itu pasti suara Joe! Aku kenal suara itu.
"Iya, Elena… Ini aku. Joe. Duduklah kembali" ujar Joe mencoba menenangkanku. Aku pun menurutinya.
"Joe… kukira kau tidak akan datang lagi.." ucapku dengan suara yang amat kecil. Mungkin Joe tidak akan bisa mendengarnya.
"Elena, sudah kubilang, aku selalu ada disini. Jangan khawatir" ucap Joe sambil tertawa kecil. Dia… bisa mendengar suaraku yang begitu kecil tadi. Suka. Bagaimanapun aku suka orang ini. Walau tak bisa melihat wajahnya. Hanya dengan mendengar suaranya yang terasa hangat… Aku menyukainya.
"Joe, kamu tahu tidak?" tanyaku.
"Hm? Apa?" sahut Joe.
"Besok aku sudah bisa melihat warna lain selain warna hitam. Besok rencananya aku akan dioperasi. Mendadak ya? tapi, itu adalah kesempatanku. Aku harus percaya kalau aku akan baik-baik saja"
"Tentu saja. Kamu pasti bisa melewatinya Len… selamat ya, akhirnya impianmu terwujud. Aku ikut senang."
"Terima kasih Joe. Aku senang. Aku tidak sabar melihat dunia dengan Mama dan kamu. Hm… wajah Joe seperti apa ya? aku tidak sabar melihatnya"
"Kalau wujudku tidak seperti yang kamu bayangkan?" terdengar suara tawa samar-samar dari Joe.
"Yang jelas aku tidak akan membencimu"
"Kenapa?"
"Karena aku menyukaimu. Suaramu seperti cahaya. Jika ada kamu, warna hitam tidak terlalu buruk bagiku. Terima kasih" ucapku pada Joe yang bisa kurasakan kalau wajahku memerah sekarang.
"Hm… Mulai besok, kamu akan melihat dunia yang lebih indah dari duniamu saat ini, yang hanya ada warna hitam dimana-mana" ujar Joe.
"Aku akan melihatnya denganmu Joe"
"Iya. Tapi mungkin agak sulit jika bersamaku"
"Kenapa? Aku tidak mengerti Joe"
"Aku…"
"Joe?"
"Elena, nikmatilah dunia yang akan kamu lihat, walau tanpa mendengar suaraku, tapi aku akan selalu menemanimu. Percayalah padaku"
Tunggu. Apa yang Joe bicarakan? Kenapa dia berbicara seolah-olah aku akan berpisah dengannya? Tidak akan mendengar suaranya lagi? Suara yang begitu aku sukai.
"Joe. Coba nyanyikan sesuatu… aku ingin mendengar lebih banyak lagi suaramu. Suara orang yang sangat kusukai…"
"Apapun untukmu Elena…"
Joe, dia selalu sukses membuat wajahku merona dan tersenyum. Suara Joe begitu indah. Lagu ini, lagu yang menyedihkan… Tapi Joe menyanyikannya dengan gembira. Berbeda sekali dengan lagunya yang menyedihkan baik makna maupun alunan nadanya. Pertama kalinya ia menyanyi. Suara ini tak akan pernah kulupakan.
Tapi, kenapa Joe berkata begitu? Sebenarnya ada apa? Apa kami akan berpisah? Masih banyak yang belum kuketahui tentangnya. Namun, mendengar suaranya sudah membuatku bahagia. Aku mulai memikirkan kata-kata Joe selama ini. Joe pernah bilang 'Aku akan menemanimu dalam kegelapan ini' apa itu artinya… saat aku membuka mata dan benar-benar melihat cahaya, Joe akan menghilang? Tapi kenapa? Lalu perkataan Joe soal 'wujudnya tidak seperti bayanganku' apa maksudnya? Kalau Joe bilang aku tak akan mendengar suaranya lagi besok, aku lebih memilih kegelapan.
"Bagaimana?" tanya Joe yang telah selesai bernyanyi.
Tes…
"L-Len… kenapa menangis?" tanya Joe bingung.
"Suaramu terlalu indah Joe" ucapku sembari menghapus air mataku yang menetes.
"Bohong" ucap Joe sambil membantuku menghapus air mataku.
"Tidak. Aku tidak berbohong Joe. Suaramu terlalu indah, untuk menghilang dari duniaku. A-Aku takut kehilangan kamu. Mendengar suaramu saja sudah cukup untukku… asal kamu bersamaku, aku tidak keberatan terus melihat kegelapan"
Joe pasti kaget mendengar ini. Pasti aku telah membuatnya bingung. Tapi, inilah kenyataannya. "Elena, aku akan terus bersamamu. Walau kau tak bisa mendengar suaraku, aku tetap bersamamu. Dari awal aku sudah bilang kan? Melihat cahaya, warna yang indah, melihat dunia lagi bersama ibumu adalah impianmu selama ini kan? Aku senang kamu bisa mewujudkannya. Kalau kau sampai kehilangan mimpimu itu karena aku, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Elena, kamu akan menemukan kehidupan yang lebih baik. Jadi kumohon, berhentilah berpikir begitu. Pikirkan ibumu juga… Aku akan selalu bersamamu Elena"
"Ka-Kau bohong."
"Walau tak bisa berkomunikasi lagi, setidaknya aku masih ada disampingmu. Begitu membuka mata, kau akan tahu wujudku… Terima kasih Elena, aku senang bermain denganmu. Jika kamu sudah tahu wujudku, ajaklah aku bermain lagi ya!"
Aku merasa Joe menggenggam tanganku erat. Sekarang, tangannya terasa dingin, tapi… tetap membuatku nyaman.
"Joe?"
"Joe?"
Sekarang tangan yang menggenggam tanganku erat, sudah hilang. Perlahan-lahan namun pasti, rasa dingin itu menghilang dari tanganku. Ya. Tangan Joe sudah tak menggenggam tanganku lagi. Tak terasa air mataku mengalir deras menyusuri pipiku. Sekarang aku benar-benar kehilangan Joe. Suaranya yang kusukai, tawanya, nyanyiannya, semuanya… Hilang.

Skip Time
"Saya akan membuka perban dimatanya" Itu… suara dokter yang tadi.
"Baiklah, sekarang coba buka matamu perlahan, Nak"
Ya… itu suara dokter yang menjalankan operasi mata padaku. Aku menuruti perkataannya dan mencoba membuka mataku.
"Sayang, berjuanglah" Mama… Mama ada disini! Ya, Ma… aku akan berusaha.
"Bagaimana Nak? Apa yang kau lihat"
Aku melihat perempuan dengan warna rambut yang sama sepertiku. Rambutnya panjang, masih samar-samar terlihat.
"Elena? Apa kamu bisa melihat?"
"Mama…"
"Ya?"
"Mama, kaukah itu?"
"Elena..."
"Mamaaa!"
Jelas! Terlihat sangat jelas! Dia Mamaku! Aku bisa melihat! Aku langsung memeluk Mama yang ada didepanku dengan erat.
"Leeen"
"Mama! Elena bisa melihat Ma! Elena bisa melihat!"
"Syukurlah sayang! Mama ikut bahagia!" Mama terisak lagi. Demikian pula aku.
"Selamat ya Elena" ucap Suster yang membantuku. Dokter pun tersenyum, ikut senang melihatku. Joe, akhirnya aku bisa melihat! sekarang, aku bisa melihatmu Joe!
"Ma, aku ingin bertemu temanku!"
"Siapa, sayang?"
"Joe! Namanya Joe!"
"Oh, Joe… baiklah, kita pulang sekarang ya"
"Ya!"
Mama mengemasi barang-barangku dikamar rumah sakit. Setelah itu Mama mengucapkan sesuatu pada Dokter, mengurus sedikit administrasi, dan membawaku pulang. Aku benar-benar tidak sabar melihat Joe.
"Baiklah, Joe ada dikamarmu Sayang, kemarilah" ajak Mama yang berada dikamarku. Sudah lama aku tidak melihat suasana rumah. Sekarang aku menuju kamarku. Dadaku berdebar kencang, mengingat aku akan melihat sosok Joe. Joe, tunggu aku.
"Nah, Elena, itu Joe"
"Joe?"
"Ma, dia… Joe?"
"Ya, boneka itulah yang selama ini kamu panggil Joe. Mama sering mendengarmu tertawa dikamar dan menyebut nama itu… saat Mama melihatmu sebentar, ternyata kamu sedang berbicara sendiri dengan boneka pemberian Ayah itu…Mama akan mengambil barangmu dulu diluar, istirahatlah Sayang"
Blam.
Boneka… Ayah?
Jadi selama ini suara yang kudengar adalah suara boneka ini? Tapi, suara itu nyata.
"Jadi, Joe… kamu bilang mungkin akan sulit melihat dunia jika bersamamu itu… karena wujudmu seperti ini? Jadi kau hanyalah boneka?" tanyaku pada… boneka Joe. Boneka pemberian Ayah sebelum Ayah meninggal.
Tentu saja tak ada jawaban.
"Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya Joe?"
Aku meraih boneka Ayah, tepatnya Joe. Memeluknya, dan membawanya didepan jendela. Ku buka jendela sehingga pemandangan diluar dan angin sore bisa masuk ke dalam kamar.
"Nah, kalau begini, aku bisa dengan mudah melihat dunia bersamamu Joe… walau aku tak dapat mendengar suaramu lagi, tapi, kamu bilang akan terus bersamaku kan? Sepertinya aku tak perlu khawatir lagi"
Lagi-lagi aku menitikkan air mata tanpa sadar. Aku segera menyeka air mataku dengan Joeganku. Lalu menatap keluar jendela… melihat langit sore yang indah, berwarna jingga yang sudah lama tidak kulihat.
"Joe, sepertinya aku tahu kenapa kamu mengenal Ayahku…"
"Aku pernah menonton cerita tentang roh yang merasuki barang-barang tertentu. Apakah salah satunya kamu Joe? Sepertinya aku mulai mengerti. Apa kau bertemu roh Ayahku disana? Kalau kalian bertemu, pasti sangat menyenangkan.. Ayah juga, apa Ayah yang menyuruh Joe menemaniku?"
"Kalau benar begitu, Joe sangat membantuku. Aku menyukai suara itu. Suara milik Joe. Sampai kapan pun aku akan menyukai suara itu… Terima kasih, Joe"
Aku menatap boneka Joe. Aku berharap Joe mendengarnya. Tapi, tetap saja tak ada jawaban. Aku mulai menutup jendela karena hari mulai malam. Setelah itu aku kembali meninggalkan kamar. Aku bermaksud mencari Mama dan begitu aku akan menutup pintu kamar…. Saat aku berbalik untuk menutup pintunya… Aku melihat boneka itu, Joe tersenyum.
Rasanya aku benar-benar tak percaya dengan kejadian ini. Aku terpikir untuk menutup mata sekali lagi. Jika aku menutup mata, maka yang ada hanya warna hitam kelam. 'Kegelapan'
"Selamat tinggal, Elena. Berbahagialah... Terima kasih sudah percaya padaku"
Tes...
"Joe bodoh! Sampai kapan pun aku percaya kamu tahu!" seruku, sambil kembali menyeka air mataku. Mendengar suara Joe, aku jadi menitikkan air mata lagi... "Selamat tinggal Joe.."
Sekarang aku sudah tidak apa-apa. Walau sudah tidak bisa mendengar suaramu lagi, aku tidak apa-apa. Terima kasih banyak... Joe. Akhirnya aku bisa melihat warna-warni dunia Tapi, karenamu dunia yang berwarna hitam, jadi lebih indah.
Terima kasih sudah memberiku secercah cahaya disana. Bukan, bukan cahaya yang sesungguhnya... Tapi, Suaramu yang bagai cahaya itu.
-Selesai-

Rabu, 05 November 2014

Cerpen Pertamaku



Kenapa Harus Aku ?
Oleh : Yatni Fatwa M

Siang yang cukup terik. Turun dari angkot, Feli segera bergegas menuju ke “LBPP LIA CIREBON” sebuah lembaga bimbingan belajar yang cukup terkenal di kota Cirebon. Feli sengaja memlilih tempat bimbel itu karena karena hanya satu kali naik kendaraan umum dari rumahnya. Dia langsung menuju ruang tanggu. Masih sepi. Dia melihat jam tangannya, masih ada waktu satu jam lagi untuk sesi yang kedua mulai belajar.
“Assalamuaikum, Mba Zahra !” sapanya pada petugas administrasi bimbel tersebut. Seorang perempuan berkerudung, bertubuh mungil, cantik, dan murah senyum yang disapanya itu mengalihkan pandangannya dari komputer dihadapannya. Dan seperti biasanya, dengan senyumnya yang selalu mengembang dia membalas.
“Waalaikumussalaam, Felii manis...tumben hari ini kamu datang lebih awal ?”
“Tadi belajarnya nggak penuh, Guru-gurunya mau rapat Koperasi. Aku ke sana dulu ya mba, mau nyelesain tugas dulu nih.” Kata Feli sambil menuju ke deretan kursi di ruangan tersebut.
“Cerpenmu belum Selesai ?” tanya Mba Zahra lagi. Dia memang tahu kalau Feli sedang menunulis cerpen yang akan diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen yang diadakan oleh harian surat kabar. Feli ditunjuk oleh guru Bahasa Indonesianya untuk mewakili sekolahnya dalam mengikuti lomba tersebut.
“Iya nih tinggal endingnya saja. Do’ain ya Mba biar menang.” Kata Feli sambil membanting pantatnya di kursi pojok belakang. Dia memang sengaja memilih kursi tersebut suapaya tidak terganggu kalau peserta bimbel yang lain datang. Dia ingin menyelesaikan nasakah cerpennya hari itu juga.
“Insya Allah, Allah pasti akan memberikan yang terbaik buat kamu.Semangat ya ! Mba mau sholat dulu.” Mba Zahra memang selalu memberi semangat pada Feli. Dia juga sering memberi nasihat dan masukan-masukan yang sangat bermanfaat tentang semua hal. Feli sangat kagum pada muslimah yang satu itu. Pengetahuan agamanya sangat luas. Dia ingin seperti itu.
“Makasih, Mba Cantik...amin...!”
Feli membuka laptopnya. Dia mulai asik memainkan jemarinya di atas keyboard. Sesekali dia merenung, lalu sambil senyum-senyum sendiri dia meneruskan pekerjaannya.
Tanpa sepengetahuan dia, ada sepasang mata mengawasinya dari jauh. Mata teduh seorang cowok. Cowok itu mendekat dan memberi salam.
“Assalamulaikum,Fel !” Merasa ada yang menyapa, Feli mengangkat wajahnya.
“Waalaikumussalaam,..Robbie...? Kamu bimbel disini juga ?” Kata Feli kaget bercampur heran. Kaget karena setelah dua tahun, dia baru melihat lagi wajah Robbie, dan heran karena dia sangat hafal kalau Robbie paling anti sama yang namanya les.
“Hehehehe...kaget ya ? Aku sekarang sudah sadar.”  Robbie tahu kalau Feli pasti heran dia ikut bimbel.
“Aku masuk dulu ya, udah telat nih. Assalamuaikum...!” katanya sambil bergegas masuk kelas.
“Feli menjawab dalam hati, “Waalaikumssaalam..!”
***
Pada saat Ramadhon 1429 H (2 tahun yang lalu)
“Assalamualaikum, Feli udah sahur belum ?
            Itu salah satu sms yang dikirim Robbie. Entah kenapa setiap menjelang sahur Robbie, teman sekelasku, pasti denga setia selalu mengirim sms. Selalu ada saja yang dia tanyakan. Padahal di kelas, Robbie sangat pendiam. Jangankan untuk mengobrol, menyapa saja hampir dapat dihitung dengan jari. Tapi aku senang juga. Robbie adalah cowok yang tergolong pintar, pendiam, dan yang lebih penting lagi, dia soleh. Wajahnya lumayan ganteng, dengan hidung mancung dan alis mata yang tebal. Rambutnya ikal dan berkulit putih. Sebenarnya banyak cewek sekelasnya yang suka dan berusaha mendekatinya, tapi akhirnya semua mundur teratur karena Robbie selalu mengacuhkannya bahkan terkesan dingin. Sekarang Robbie malah sering mengirim sms sama aku. Hahaha...aku mulai ge-er sendiri dan bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan..., jangan-jangan... Tapi anehnya setiap bertemu di kelas, dia tetap acuh, cuek, dan dingin.
***
Saat (Sebulan pasca Idul Fitri)
            “Feli, kamu mau ngga jadi pacar aku ?”
            Bagai mimpi ketika ku membaca sms dari Robbie. Perasaan kaget, heran, bercampur dengan perasaan senang karena diam-diam sebenarnya aku juga suka sama Robbie, tapi lebih tepatnya penasaran dengan sikapnya yang misterius. Terjawab sudah pertanyaan yang sering terlintas dalam pikiranku. Ya, ternyata Robbie memang suka sama aku. Aku bingung juga harus menjawab apa. Kalau langsung aku terima nanti dia ke ge-er an. Tapi kalau tidak, aku takut nanti Robbie akan berubah pikiran. Aku lalu memutuskan untuk memikirkan terlebih dulu. Aku minta Robbie menunggu jawabannya. Tapi selama menunggu jawaban, Robbie tetap setia sms aku. Menyanyakan kabar, mengingatkan jangan lupa makan, sholat,dan lain-lain. Pokoknya dia perhatian banget. Apa karena dia ada maunya ya, ha ha ha .. dan yang membuat aku makin penasaran adalah sikap misteriusnya itu. Di kelas dia tetap nyuekin aku. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima Robbie tapi dengan satu syarat, apabila suatu saat kita tidak bisa bersama lagi, jangan karena ada cewek lain dan dia harus ngomong baik-baik, sama seperti ketika dia meminta aku untuk jadi pacarnya dan tetap bersahabat. Dia setuju.
***
            “Feli, coba kamu menggantikan bapak menjelaskan tentang Eksponen !” perintah pak Harris, Guru Matematikaku. Beliau memang sering menyuruhku untuk menjadi tutor sebaya. Aku langsung menuju papan tulis dan mulai menjelaskan tentang Eksponen sesuai perintahnya.
            Selama menjelaskan aku melihat ke arah Robbie. Hatiku jadi nggak karuan karena setiap kali melihatnya, ternyata dia juga sedang menatapku tanpa berkedip. Untung saja aku bisa menata perasaaanku sehingga aku bisa menjelaskan tentang Eksponen dengan baik sampai selesai.
***
“Hei Fel, Sepertinya kamu ada sesuatu deh sama Robbie !” Kata Pingkan teman sebangkuku.
“Ah,ga ada apa-apa kok, memang kenapa “ tanyaku
“Akhir-akhir ini aku perhatikan, Robbie sering diam-diam memandangimu terus.”
“Robbie kan punya mata, lagian aku kan manis, jadi wajar dong kalau dia sering mandangin aku, ha ha ha....Mungkin dia suka sama aku.” Aku menanggapi kecurigaan Pingkan dengan bercanda. Tapi dasar Pingkan, dia malah makin penasaran.
“Hayooo, pokoknya kamu ngaku aja deh. Aku juga diam-diam merhatiin kamu. Kamu sekarang perhatian banget sama dia. Kalau dia belum kelihatan, kamu pasti nanyain. Kalau ketemu juga saling senyum. Oh iya, kamu juga pernah kepergok lagi ngobrol sama dia.” Pingkan terus nyerocos tentang hasil pengamatannya.
“Heeee..., sebenernya aku sama Robbie udah jadian tiga bulan yang lalu.” jelasku sambil nyengir.
“Haaaa...,dasar kamu. Kamu tega banget, masa nggak pernah cerita sama aku !” kata Pingkan sambil terus memukuliku dengan buku. Aku makin ngakak. Lucu melihat tingkah Pingkan yang kesal karena aku sudah membohonginya.
“Akhirnya gunung es itu mencair juga !” desis Pingkan
***
            Tak terasa hampir delapan bulan aku menjalin hubungan dengan Robbie. Gaya pacaran kami memang berbeda dengan anak-anak yang lain. Kami biasanya mengisi waktu luang disekolah dengan belajar bersama atau membahas soal-soal. Dan dia yang lebih sering bertanya. Karena aku peringkat pertama di kelas jadi otakku lumayan. Selain itu, aku juga sering mengikuti berbagai lomba baik Akademik maupun Non Akademik. Robbie menjadi salah satu penyemangat setiaku. Apalagi saat aku mengikuti seleksi penerimaan siswi baru di salah satu SMA terkenal di kota Cirebon. Dia selalu percaya dan tetap mendukungku.
            Bagi mereka yang belum mengenal Robbie,pasti semua menilai Robbie, itu pendiam. Makanya semua heran ketika tahu Robbie pacaran sama Felcia Maharaja anak yang gak pernah bisa diam. Tapi setelah aku mengenalnya, tenyata Robbie enak untuk diajak ngobrol. Dia memang sangat pendiam, Dia lebih sering mendengarkan daripada berbicara. Itu salah satu hal yang aku suka dari dia. Kami berdua memang orang yang serius dan sama-sama nggak romantis. Ha ha ha...
***
Acara perpisahan SMP berjalan lancar. Aku senang karena aku adalah ketua panitianya. Aku lebih senang lagi karena aku sudah berhasil diterima di SMA yang aku idam-idamkan sebelum semua teman-temanku dan aku sendiri lulus ujian.
“Hufhh, panas banget !” gerutu Feli sambil membuka kulkas, sambil mengambil botol air putih dan meminumnya. Dia baru pulang dari sekolah setelah seharian mengikuti acara pelantikan paskibra adik kelasnya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ada telepon masuk. Ternyata dari Robbie.
“Feli, aku pengen ngomong sesuatu sama kamu, tapi kamu jangan marah ya...!”
“Mudah-mudahan nggak, memang ada apa ?” tanyaku heran.
“Mulai sekarang kita jalan sendiri-sendiri saja ya !” katanya
“Maksudnya...? Aku gak ngerti Rob. Coba kamu jelasin !”
“Kita kan mau masuk SMA, pelajarannya pasti akan semakin sulit. Aku ingin belajar lebih serius lagi. Aku mohon sama kamu, sekarang kita sahabatan aja. Insya Allah kalau kita jodoh suatu saat nanti kita pasti akan bersatu lagi.” pintanya
Sesaat aku terdiam. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tapi akhirnya aku mengiyakan permohonanya. Aku hargai keputusannya. Dia yang sudah mengisi hari-hariku, Kini pergi meninggalkanku. Aku tidak pernah bisa marah sama Robbie begitu juga sebaliknya.
Alhamdulillah, aku bisa melewati semuanya dengan baik. Banyaknya tugas-tugas sekolah yang harus kukerjakan,membuat aku bisa melupakan kebersamaanku dengan Robbie. Dan Robbie pun membuktikan janjinya kalau dia benar-benar pengen kosentrasi belajar. Sampai sekarang Robbie masih tetap sendiri. Ya aku tahu semua itu karena saya selalu mengikuti perkembangannya melalui Pingkan teman sebangkuku dulu,Pingkan satu SMA dengan Robbie.
Berbeda dengan Robbie. Kira-kita 6 bulan  setelah aku pisah, Carl,salah satu teman SMP ku (teman Robbie juga) terus mengejarku, pantang menyerah. Aku tahu, Carl sudah suka sama aku jauh sebelum aku berhubungan dengan Robbie. Makanya, begitu aku dan Robbie bubar, Carl langsung mengejarku. Carl memang ganteng tapi aku tidak suka dengan pribadinya. Karena Carl terus mengejarku, akhirnya aku memutuskan untuk menerimanya dengan syarat yang sama dengan Robbie dulu, tapi ditambah satu syarat lagi, dia harus berubah. Aku juga bertekad untuk mengubah Carl menjadi lebih baik.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, sampai enam bulan terlewati. Walau dengan susah payah, Carl akhirnya bisa berubah juga.
“Feli, makasih banyak ya! Berkat kamu, sekarang Carl jauh lebih baik. Dia gak pernah bolos lagi, sholat selalu tepat waktu, dan belajar pun nggak perlu disuruh lagi. Makasih ya Fel...”
Itu sms dari ibunya Carl. Beliau memang sering sms aku minta bantuan buat selalu mengingatkan Carl. Dan aku pun selalu menuruti permintaannya, karena pada dasarnya, itu juga merupakan tujuanku menerima Carl.
***
            Kuantitas pertemuan kami boleh dibilang jarang. Aku terlalu sibuk dengan tugas-tugas sekolahku. Hampir tak ada waktu buat aku bertemu Carl. Walaupun begitu, setiap hari aku selalu menyempatkan diri menanyakan kabarnya dan mengingatkan tugas-tugasnya. Keputusanku menerima dia hanya untuk membuat dia jadi lebih baik. Aku tidak mau waktu belajarku tersita hanya karena sibuk ngurusin dia. Aku juga ingin membuktikan pada kedua orang tuaku kalau aku bisa membuat mereka bangga. Kedua orang tuaku sangat demokratis. Mereka membolehkan aku punya teman dekat asal tau konsekuensinya. Aku harus bisa membagi waktuku antara ibadah dan belajar. Dan Alhamdulillah, aku bisa. Aku tetap berprestasi di sekolah.
            Menjelang satu tahun hubunganku dengan Carl, Mulai tumbuh benih-benih sayang di hatiku. Carl benar-benar berusaha untuk menjadi lebih baik. Hingga terjadilah sesuatu yang tidak diinginkan baik oleh aku maupun orang tua Carl. Carl tiba-tiba berubah 180 derajat. Dia lupa segalanya, bahkan kepada kedua orang tuanya. Carl mulai bolos, malas sholat, juga merokok lagi.
            “Feli, kita putus ya, aku sekarang sudah punya pacar lagi !”
            Itu sms dari Carl. Aku terkejut karena tidak menyangka Carl akan berbuat seperti itu. Yang lebih mengagetkan aku lagi, Carl ternyata sudah menjalin hubungan dengan seorang cewek yang benar-benar sudah rusak. Aku rela kalau harus berpisah dengan Carl, tapi aku tidak rela kalau Carl harus jatuh ke pelukan cewek yang tidak bermoral. Susah payah aku berusaha membuat Carl jadi baik, tapi sekarang cewek itu sudah menjerumuskan Carl ke luabang kesengsaraan yang sangat dalam. Aku sedih, benar-benar sedih. Selesai sudah tugasku untuk selalu mengingatkan dia. Tugasku sekarang adalah melanjutkan tujuan awal aku yaitu belajar, belajar, belajar, dan belajar. Aku ingin selalu membuat bangga kedua orang tuaku.
            Lima bulan sudah aku berpisah dengan Carl. Sejak perpisahan itu, aku tidak pernah bertemu dia. Tapi kabar yang aku dapatkan (lagi-lagi dari Pingkan teman sebangkuku dulu,Pingkan satu SMA dengan Carl), sekarang Carl sudah sendiri lagi. Cuma dua bulan cewek itu memanfaatkan kepolosan Carl, setelah itu Carl ditendang. Kata Pingkan, Carl sekarang sudah benar-benar sadar dan berkomitmen tidak mau pacaran lagi. Syukurlah kalau memang begitu, itu sudah  membuatku cukup senang. Mudah-mudahan dia benar-benar insyaf untuk seterusnya. Cukup dua kali saja hatiku diisi dan disakiti oleh dua orang cowok yang berbeda.
***
Tringg..Tringg..Tringg
            Suara bel dan tawa anak-anak yang baru selesai bimbel membuyarkan semua lamunan Feli. Feli segera membereskan dan memasukkan laptopnya ke dalam tas. Kemudian dia bangkit dan berjalan menuju ruang bimbelnya. Dia berjanji dalam hati akan terus berusaha dan belajar agar nanti bisa diterima di perguruan tinggi negeri dambaannya. Bulat sudah tekadnya untuk menyongsong masa depannya. Mereguk Ilmu di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia.
“Tunggu aku, Masa depan! Aku pasti datang ke pelukanmu!” teriaknya dalam hati
***
Penyesalan memang selalu ada di akhir, tapi tak ada salahnya jika memang kita cinta terhadap lawan jenis, karena pada seusia kita itu sedang mengalami masa Puber, wajar-wajar saja, tetapi kita juga harus tau kalau itu semua ada batasnya. Janganlah kita lupa pesan orang tua, buat mereka bangga, jangan kecewakan mereka, dan yang terpenting jangan lupa pada Allah, Syukuri apapun yang didapat,juga selalu beribadah kepada-Nya. Insya Allah dengan semua itu semua Keinginan dan Cita-Cita kita akan terwujud. Amin...
END