Suaramu Cahayaku
Sejak kecelakaan itu, duniaku berubah menjadi gelap. Hanya warna
hitam yang dapat ku lihat. Aku muak melihat warna yang hitam kelam seperti ini.
Warna hitam ini mengurungku. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa lepas dari
warna hitam ini, dan melihat warna yang lebih indah.
"Mama, apa aku bisa melihat warna selain warna hitam suatu
saat nanti?" tanyaku pada Mama.
"Tentu saja sayang, kamu pasti bisa melihat warna yang jauh
lebih indah dari warna hitam yang kamu lihat sekarang ini" jawab Mama
dengan suara serak.
"Kalau cahaya? Elena sudah lama tidak melihat cahaya"
ucapku lagi sambil memeluk boneka pemberian Papa.
"Iya, nanti Elena pasti bisa melihat cahaya… " jawab Mama
lagi.
Hiks…
Ya, aku dengar isak tangis itu. Itu suara mamaku. Mamaku menangis…
aku tidak ingin Mama menangis lagi. Walaupun Mama berusaha menyembunyikan
tangisannya itu dariku, tapi aku tetap bisa mendengarnya. Karena sejak
kecelakaan yang merenggut penglihatanku itu, pendengaranku menjadi lebih tajam.
Tuhan, kapan aku bisa melihat dunia bersama Mama lagi? Kata Mama,
sebentar lagi. Tapi, sebentar itu rasanya lama. Apa karena aku tidak bisa
melihat jam? Jadi waktu terasa lama? Kalau waktu terasa lama, sebaiknya kita
tidak memikirkannya kan? maka waktu akan cepat berlalu. Tapi apa yang bisa
kulakukan selama aku menunggu waktu berjalan? Aku ingin cepat-cepat melihat
dunia. Aku akan menunggu waktuku untuk melihatnya.
Tuan Waktu… kumohon, cepatlah berjalan. Larilah! Tapi Tuan Waktu
tetap tidak mau berlari.
"Mama, Mama dimana?" tanyaku sembari meraba-raba setiap
sudut yang dapat kujangkau.
…
Tak ada jawaban dari Mama. Mama pasti sedang bekerja. Ya… Mama
bekerja demi pengobatanku. Agar aku dapat melihat kembali. Mama bekerja keras
untuk itu, sejak Papa meninggal. Aku tahu Mama sangat lelah, tapi Mama selalu
menjawab pertanyaanku dengan ceria, mengelus kepalaku, sambil berkata 'Mama
baik-baik saja, sayang… Jangan khawatir' Walaupun Mama menjawab pertanyaanku
seperti itu, aku tahu Mama sangat lelah. Kadang aku ingin menangis jika Mama
memaksakan dirinya, sedangkan aku tak bisa berbuat apa-apa. Tapi, jika aku
menangis, bukankah itu akan membuat Mama bersedih? Aku tidak ingin membebani
Mama.
Sendiri.
Aku sendiri tanpa Mama.
Kembali lagi kedalam warna hitam kelam yang luas.
Tidak ada siapa-siapa. Aku…Sendiri.
"Elena!"
Siapa? Siapa yang memanggilku?
"Elena! Ayo kita main!"
Suara siapa ini? Aku baru pertama kali mendengarnya.
"Kita main apa ya? aku bingung"
Anak laki-laki. Ini suara anak laki-laki. Tapi, kenapa bisa berada
disini? Bagaimana dia masuk ke rumah?
"Kalau Elena mau main apa?"
Tunggu, ini benar-benar suara anak laki-laki! Suara yang nyata.
Siapa dia? Aku tidak pernah bergaul dengan anak-anak lain. Tahu namanya saja
tidak. Jika aku keluar rumah, mereka pasti akan mencelaku karena aku tidak bisa
melihat. Tapi anak ini…
"Leeen!"
"He-eh?" Aku terkejut.
"Kenapa malah diam saja? Dari tadi aku memanggilmu tahu!"
protes anak itu karena aku tak kunjung menjawab pertanyaan yang dilontarkannya.
Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Ka-Kamu siapa?" Tanyaku terbata-bata "Ke-Kenapa ada
disini? B-Bagaimana kamu masuk?"
"Aku memang selalu disini kok! Ibumu juga tahu! Bahkan Ayahmu
yang sudah meninggal"
"Ba-Bagaimana kamu tahu soal Ayahku? La-Lalu… namamu siapa?
Aku baru dengar suaramu, apalagi kau memanggilku dengan panggilan ‘Len’. Tahu
darimana kamu?" ujarku kebingungan. Padahal hanya kedua orangtuaku yang
suka memanggilku dengan nama pendekku.
"Puh… hu hu…"
'Ke- Apa yang ditertawakan anak itu?' Aku tak habis pikir.
"Nanti, kamu akan mengetahuinya Len. Selagi Tuan Waktu berjalan,
kita main ya!" ajak anak laki-laki itu. Bahkan dia tahu soal 'Tuan Waktu'?
aku yakin, aku tak pernah berbicara pada siapa pun soal Tuan Waktu. Bahkan
Mama. Orang terdekat, dan satu-satunya yang aku miliki.
"Mustahil kamu mengetahui itu… siapa kamu sebenarnya?"
tanyaku penasaran. Aku benar- benar penasaran pada anak ini.
"Panggil saja aku Joe!" ucap anak itu semangat.
"J-Joe?" tanyaku lagi.
"Ya! Joe! Len, aku mau main sesuatu!" ucap Joe. Begitulah
ia menyuruhku memanggilnya.
"Ma-Main? Main apa?"
"Apa saja! Yang penting Elena juga suka! Karena permainan yang
menyenangkan bagiku, jika Elena menyukai permainan itu!" ucap Joe
bersemangat.
Anak ini… kenapa ya? mau-maunya main denganku yang tidak bisa
melihat ini.
"Elena, aku akan menemanimu dalam kegelapan ini. Jangan
khawatir… Aku akan selalu ada disampingmu! Sampai kamu berhasil melihat cahaya
dan warna yang lebih indah dari warna hitam"
Hangat.
Kenapa aku merasa hangat seperti ini? Apa karena Joe berkata
begitu? Aneh sekali… Tapi, sangat menyenangkan.
"Leeen… kamu dimana sayang? Mama pulang. Mama bawakan roti
kesukaanmu, lho" terdengar suara Mama dari ruang tamu. Mama baru saja
pulang kerja.
"Joe, Mamaku sudah pulang! Kamu dengar? Mamaku membawa roti
kesukaanku lho… Ayo kita makan sama-sama! Pasti kamu suka!" ajakku pada Joe
sembari meraba-raba kedepan, berusaha meraih tangan atau salah satu bagian tubuh
Joe, tapi tak kunjung kudapatkan. Hanya ada boneka Ayah dihadapanku.
"Elena saja… aku tidak lapar, nanti kita lanjutkan mainnya ya.
Aku tunggu disini" ujar Joe.
"Eh? Begitu? kalau begitu, aku mau melihat Mama dulu"
ucapku pada Joe. Aku bisa mendengar Joe tertawa kecil.
"Elena, kamu sedang apa? dari tadi Mama memanggilmu"
"Hehe… Elena habis main!" jawabku gembira. Karena
akhirnya aku tidak sendirian.
"Dengan siapa?" tanya Mama penasaran. Aku dapat mendengar
Mama meletakkan sesuatu diatas meja, pasti itu rotinya. Tentu saja Mama
penasaran begitu, selama ini aku tidak pernah bermain bersama siapa pun.
"Lihat saja dikamar Elena. Mama pasti tahu!" jawabku bersemangat
sambil mencoba mengambil roti yang ada di meja makan. Ya. ini semua karena Joe.
Aku mendengar langkah kaki Mama. Dia menuju kamarku. Tempat Joe
berada. Lalu, aku mendengar langkah kakinya lagi. Kali ini Mama kembali kesini.
"Oh… Iya Sayang" kata Mama. Aku hanya tersenyum sembari
memakan roti Mama yang berhasil ku raih. Roti ini memang selalu enak. Entah
kenapa sekarang rasanya lebih enak dari yang sebelumnya.
"Mama, aku sudah selesai dengan rotiku. Aku mau kekamar
dulu" ucapku, lalu pergi ke kamar sambil meraba-raba setiap sudut. Kamarku
tidak terlalu jauh, jadi aku dapat dengan mudah pergi kesana. Aku tidak sabar
bermain dengan Joe.
Akhirnya aku sampai dikamarku. Aku mulai meraba-raba kedepan.
"Joe? Kamu masih disini?" tanyaku masih meraba-raba kedepan
"Joe?"
"Elena! Aku disini! Aku ditempat tidur" Itu dia. Suara Joe
yang bersemangat. Aku sangat menyukainya. Kalau aku bisa melihat, pasti wajahku
sudah merona.
"Joe, ternyata kamu masih disini! Aku senang!"
"Sudah kubilang kan? Aku akan selalu menemani Elena, selama Elena
melihat warna hitam dan menunggu Tuan Waktu berjalan" ucap Joe sambil
sedikit tertawa. Sekarang wajahku pasti sudah sangat merah.
"A-Ah! Ayo kita main Joe!" aku berusaha mengganti topik,
karena kalau Joe berkata begitu lagi, itu membuatku terlalu bahagia, dan
membuat wajahku makin merona.
"Iya! Elena yang lagi malu-malu lucu deh!" jawab Joe
sambil tertawa kecil. Sontak perkataan Joe membuatku makin… susah diungkapkan.
"J-Joe! Berhenti menggodaku!" bentakku sambil
menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya.
"Iya, iya… maafkan aku. Kita main tebak suara hewan ya!"
ajaknya sambil mulai menirukan beberapa suara hewan. Walaupun tidak mirip
dengan suara apapun, tapi aku bisa menebaknya dengan benar. Suara Joe yang
tidak bisa menirukan suara hewan membuatku tertawa, tersenyum, dan aku hampir
saja lupa bagaimana rasanya sendirian ditengah kegelapan.
Puas bermain, aku mulai merebahkan tubuhku di ranjang yang empuk.
Aku terlalu lelah tertawa karena Joe. Suaraku jadi serak tapi sangat menyenangkan.
Baru pertama kali aku seperti ini sejak duniaku mulai berwarna hitam.
"Haahh… Joe, tanggung jawab! Suaraku jadi serak nih… gara-gara
kamu terlalu lucu! Perutku juga jadi sakit karena tertawa" ucapku pada Joe
yang juga sudah lelah tertawa. Aku bisa mendengar suara tawanya. Lalu aku pun
ikut tertawa lagi karenanya.
"Joe, kau tahu? Dunia yang gelap di mataku ini… kurasa tidak
terlalu buruk"
"Kenapa?"
"Karena ada Joe sekarang"
"Begitu?"
"Iya. Aku sangat menikmati waktuku bersamamu. Aku sudah tidak
mempermasalahkan soal Tuan Waktu yang berjalan lamban. Walau aku hanya bisa
mendengar suaramu, itu saja sudah membuatku bahagia ditengah-tengah
kegelapan" ucapku pada Joe. Tanpa terasa, ujung-ujung bibirku terangkat
saat mengatakan hal itu. Aku… tersenyum tanpa sadar.
"Aku senang kamu berkata begitu Len" jawab Joe dengan
lembut. Seandainya aku bisa melihat, apa wajah Joe merona ya? kalau iya…
rasanya senang sekali.
"Joe, kamu menemaniku saat aku melihat warna hitam ini. Jika
aku sudah bisa melihat warna lain, temani aku juga ya?" pintaku pada Joe.
…
Tak ada jawaban dari Joe.
"Joe, kamu masih disini? Kamu dimana?" tanyaku sambil
berusaha meraba-raba sekitarku. Tentunya posisiku sedang tidur, jadi aku hanya
bisa menjangkau area ranjangku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menyentuh pipiku.
Hangat. Tangan siapa ini? Apa ini tangan Joe? Apa tangan Joe begitu hangat dan
nyaman seperti ini?
"Joe…"
Sekarang tangan itu menyibak poniku. Membawanya kesamping dengan
perlahan. Membelai rambutku dengan lembut. Aku sangat suka belaian tangan Joe.
Itu membuatku mulai tertidur. Terbuai dalam mimpi. Anehnya, aku tidak tahu aku
sudah memasuki alam mimpi atau belum. Joe mencium keningku. Hangat. Kuharap ini
bukanlah mimpi, tapi aku benar-benar tertidur sekarang.
"Elena…"
Kriiiinngg...
Alarmku berbunyi. Sekarang sudah pagi. Jadi kemarin aku benar-benar
tertidur? Mama bagaimana ya? lalu Joe… Pasti Joe sudah pulang kemarin… aku
tidak dapat berbicara lebih lama dengannya kemarin. Tunggu, kemarin… Ah! Iya!
Kemarin Joe mencium keningku! Uwaahh… pasti wajahku memerah sekarang! Tunggu.
Tapi waktu itu aku mulai tertidur kan? apa itu mimpi? Kalau mimpi, menyebalkan
sekali. Aku lebih suka itu menjadi kenyataan.
Tok, tok, tok, "Sayang,
kamu sudah bangun? Kalau sudah, ayo sarapan. Mama tunggu di meja makan"
"I-Iya Ma… Len kesana sekarang" soal Joe nanti saja aku
pikirkan lagi.
Harum. Mama pasti sudah selesai memasak sesuatu. Aku terus berjalan
ke meja makan sembari meraba-raba setiap sudut.
"Elena, ayo makan. Kemarin kamu tertidur dan melewatkan makan
malam. Sekarang makanlah"
"Uhm!"
Tluk, Mama mengambilkanku masakannya.
Aku bisa mendengar suara denting sendok yang Mama pakai. Aku mulai memakannya,
dan rasanya sangat enak. Masakan Mama memang benar-benar enak. Kami pun mulai
makan bersama.
"Sayang, ada yang harus Mama beritahu padamu" ucap Mama
ditengah-tengah sarapan berlangsung.
"Ada apa Ma?" ucapku, lalu berhenti mengunyah makananku.
"Kemarin Mama sudah menemukan orang yang mau mendonorkan
matanya. Besok kita akan kerumah sakit. Mungkin ini mendadak, karena besok kamu
akan dioperasi, tapi tenanglah, semua akan baik-baik saja.." ucap Mama,
lalu Mama menitikkan air mata. Terdengar olehku Mama mulai terisak
"A-Akhirnya, kamu bisa melihat dunia yang berwarna lagi sayang"
tangisan Mama pecah lalu Mama memelukku dengan erat.
"Mama… Terima kasih Ma… Elena… hiks" aku pun ikut
terisak. Aku sangat senang. Akhirnya, aku bisa melihat cahaya lagi! Melihat
dunia! Melihat warna selain warna hitam!
"Sayang… Mama bahagia sekali, akhirnya setelah sekian lama…
Kamu beruntung sayang! Kamu tidak akan menderita lagi. Terima kasih Tuhan, kau
telah memberi kesempatan untuk anakku satu-satunya. Ayah, apa kau dengar?
Anakmu akan bisa melihat lagi!"
Kini Mama memelukku erat. Tubuhnya gemetar. Aku tahu betapa bahagianya
Mama. Terima kasih Tuhan, aku mempunyai Mama sebaik ini. Ayah, apa kau melihat
kami? Aku sangat bahagia. Terima kasih banyak Tuhan. Tuan Waktu, kamu berhasil!
"Emm… Sayang, Mama harus berangkat sekarang. Kali ini Mama
harus kerja pagi. Habiskan sarapanmu ya… Mama akan pulang secepat yang Mama
bisa" ujar Mama sambil mengusap pipinya yang basah karena air mata. Lalu
mengusap kepalaku sebelum ia pergi meninggalkanku.
"Iya Ma, hati-hati. Elena akan menunggu Mama pulang"
sahutku sembari melambaikan tangan.
Blam.
"Sekarang apa yang harus kulakukan? Sendirian…" gumamku.
Sejujurnya aku benci sendirian didalam kegelapan. Tidak ada suara yang bisa kudengar
ditengah rumah yang sepi begini. Seandainya ada Joe… aku ingin memberitahunya berita
ini. Karena dia, warna hitam menjadi lebih baik.
Tap, tap, tap.
Klek, aku berhasil
membuka pintu, lalu berjalan masuk kedalam kamar sambil meraba-raba kedepan.
Aku dapat meraih ranjangku. Aku pun duduk disana. Termenung. Aku ingat kemarin
aku tertawa bersama-sama dengan Joe. Ya, disini. Waktu itu sangat menyenangkan.
Tapi sekarang… tidak.
"Joe…"
"Ya?"
"Uwaah! Joe!? Kaukah itu?" tanyaku yang spontan terlonjak
kaget saat tiba-tiba ada yang menjawabku. Tidak salah lagi! Itu pasti suara Joe!
Aku kenal suara itu.
"Iya, Elena… Ini aku. Joe. Duduklah kembali" ujar Joe
mencoba menenangkanku. Aku pun menurutinya.
"Joe… kukira kau tidak akan datang lagi.." ucapku dengan
suara yang amat kecil. Mungkin Joe tidak akan bisa mendengarnya.
"Elena, sudah kubilang, aku selalu ada disini. Jangan
khawatir" ucap Joe sambil tertawa kecil. Dia… bisa mendengar suaraku yang
begitu kecil tadi. Suka. Bagaimanapun aku suka orang ini. Walau tak bisa
melihat wajahnya. Hanya dengan mendengar suaranya yang terasa hangat… Aku menyukainya.
"Joe, kamu tahu tidak?" tanyaku.
"Hm? Apa?" sahut Joe.
"Besok aku sudah bisa melihat warna lain selain warna hitam.
Besok rencananya aku akan dioperasi. Mendadak ya? tapi, itu adalah kesempatanku.
Aku harus percaya kalau aku akan baik-baik saja"
"Tentu saja. Kamu pasti bisa melewatinya Len… selamat ya,
akhirnya impianmu terwujud. Aku ikut senang."
"Terima kasih Joe. Aku senang. Aku tidak sabar melihat dunia
dengan Mama dan kamu. Hm… wajah Joe seperti apa ya? aku tidak sabar melihatnya"
"Kalau wujudku tidak seperti yang kamu bayangkan?"
terdengar suara tawa samar-samar dari Joe.
"Yang jelas aku tidak akan membencimu"
"Kenapa?"
"Karena aku menyukaimu. Suaramu seperti cahaya. Jika ada kamu,
warna hitam tidak terlalu buruk bagiku. Terima kasih" ucapku pada Joe yang
bisa kurasakan kalau wajahku memerah sekarang.
"Hm… Mulai besok, kamu akan melihat dunia yang lebih indah
dari duniamu saat ini, yang hanya ada warna hitam dimana-mana" ujar Joe.
"Aku akan melihatnya denganmu Joe"
"Iya. Tapi mungkin agak sulit jika bersamaku"
"Kenapa? Aku tidak mengerti Joe"
"Aku…"
"Joe?"
"Elena, nikmatilah dunia yang akan kamu lihat, walau tanpa
mendengar suaraku, tapi aku akan selalu menemanimu. Percayalah padaku"
Tunggu. Apa yang Joe bicarakan? Kenapa dia berbicara seolah-olah
aku akan berpisah dengannya? Tidak akan mendengar suaranya lagi? Suara yang
begitu aku sukai.
"Joe. Coba nyanyikan sesuatu… aku ingin mendengar lebih banyak
lagi suaramu. Suara orang yang sangat kusukai…"
"Apapun untukmu Elena…"
Joe, dia selalu sukses membuat wajahku merona dan tersenyum. Suara Joe
begitu indah. Lagu ini, lagu yang menyedihkan… Tapi Joe menyanyikannya dengan
gembira. Berbeda sekali dengan lagunya yang menyedihkan baik makna maupun
alunan nadanya. Pertama kalinya ia menyanyi. Suara ini tak akan pernah
kulupakan.
Tapi, kenapa Joe berkata begitu? Sebenarnya ada apa? Apa kami akan
berpisah? Masih banyak yang belum kuketahui tentangnya. Namun, mendengar suaranya
sudah membuatku bahagia. Aku mulai memikirkan kata-kata Joe selama ini. Joe
pernah bilang 'Aku akan menemanimu dalam kegelapan ini' apa itu artinya… saat
aku membuka mata dan benar-benar melihat cahaya, Joe akan menghilang? Tapi
kenapa? Lalu perkataan Joe soal 'wujudnya tidak seperti bayanganku' apa maksudnya?
Kalau Joe bilang aku tak akan mendengar suaranya lagi besok, aku lebih memilih
kegelapan.
"Bagaimana?" tanya Joe yang telah selesai bernyanyi.
Tes…
"L-Len… kenapa menangis?" tanya Joe bingung.
"Suaramu terlalu indah Joe" ucapku sembari menghapus air
mataku yang menetes.
"Bohong" ucap Joe sambil membantuku menghapus air mataku.
"Tidak. Aku tidak berbohong Joe. Suaramu terlalu indah, untuk
menghilang dari duniaku. A-Aku takut kehilangan kamu. Mendengar suaramu saja sudah
cukup untukku… asal kamu bersamaku, aku tidak keberatan terus melihat
kegelapan"
Joe pasti kaget mendengar ini. Pasti aku telah membuatnya bingung.
Tapi, inilah kenyataannya. "Elena, aku akan terus bersamamu. Walau kau tak
bisa mendengar suaraku, aku tetap bersamamu. Dari awal aku sudah bilang kan?
Melihat cahaya, warna yang indah, melihat dunia lagi bersama ibumu adalah
impianmu selama ini kan? Aku senang kamu bisa mewujudkannya. Kalau kau sampai
kehilangan mimpimu itu karena aku, aku tidak akan bisa memaafkan diriku
sendiri. Elena, kamu akan menemukan kehidupan yang lebih baik. Jadi kumohon,
berhentilah berpikir begitu. Pikirkan ibumu juga… Aku akan selalu bersamamu Elena"
"Ka-Kau bohong."
"Walau tak bisa berkomunikasi lagi, setidaknya aku masih ada
disampingmu. Begitu membuka mata, kau akan tahu wujudku… Terima kasih Elena, aku
senang bermain denganmu. Jika kamu sudah tahu wujudku, ajaklah aku bermain lagi
ya!"
Aku merasa Joe menggenggam tanganku erat. Sekarang, tangannya
terasa dingin, tapi… tetap membuatku nyaman.
"Joe?"
…
"Joe?"
Sekarang tangan yang menggenggam tanganku erat, sudah hilang.
Perlahan-lahan namun pasti, rasa dingin itu menghilang dari tanganku. Ya. Tangan
Joe sudah tak menggenggam tanganku lagi. Tak terasa air mataku mengalir deras menyusuri
pipiku. Sekarang aku benar-benar kehilangan Joe. Suaranya yang kusukai,
tawanya, nyanyiannya, semuanya… Hilang.
Skip
Time
"Saya akan membuka perban dimatanya" Itu… suara dokter
yang tadi.
"Baiklah, sekarang coba buka matamu perlahan, Nak"
Ya… itu suara dokter yang menjalankan operasi mata padaku. Aku
menuruti perkataannya dan mencoba membuka mataku.
"Sayang, berjuanglah" Mama… Mama ada disini! Ya, Ma… aku
akan berusaha.
"Bagaimana Nak? Apa yang kau lihat"
Aku melihat perempuan dengan warna rambut yang sama sepertiku.
Rambutnya panjang, masih samar-samar terlihat.
"Elena? Apa kamu bisa melihat?"
"Mama…"
"Ya?"
"Mama, kaukah itu?"
"Elena..."
"Mamaaa!"
Jelas! Terlihat sangat jelas! Dia Mamaku! Aku bisa melihat! Aku
langsung memeluk Mama yang ada didepanku dengan erat.
"Leeen"
"Mama! Elena bisa melihat Ma! Elena bisa melihat!"
"Syukurlah sayang! Mama ikut bahagia!" Mama terisak lagi.
Demikian pula aku.
"Selamat ya Elena" ucap Suster yang membantuku. Dokter
pun tersenyum, ikut senang melihatku. Joe, akhirnya aku bisa melihat! sekarang,
aku bisa melihatmu Joe!
"Ma, aku ingin bertemu temanku!"
"Siapa, sayang?"
"Joe! Namanya Joe!"
"Oh, Joe… baiklah, kita pulang sekarang ya"
"Ya!"
Mama mengemasi barang-barangku dikamar rumah sakit. Setelah itu
Mama mengucapkan sesuatu pada Dokter, mengurus sedikit administrasi, dan
membawaku pulang. Aku benar-benar tidak sabar melihat Joe.
"Baiklah, Joe ada dikamarmu Sayang, kemarilah" ajak Mama
yang berada dikamarku. Sudah lama aku tidak melihat suasana rumah. Sekarang aku
menuju kamarku. Dadaku berdebar kencang, mengingat aku akan melihat sosok Joe. Joe,
tunggu aku.
"Nah, Elena, itu Joe"
…
"Joe?"
…
"Ma, dia… Joe?"
"Ya, boneka itulah yang selama ini kamu panggil Joe. Mama sering
mendengarmu tertawa dikamar dan menyebut nama itu… saat Mama melihatmu sebentar,
ternyata kamu sedang berbicara sendiri dengan boneka pemberian Ayah itu…Mama akan
mengambil barangmu dulu diluar, istirahatlah Sayang"
Blam.
…
Boneka… Ayah?
Jadi selama ini suara yang kudengar adalah suara boneka ini? Tapi,
suara itu nyata.
"Jadi, Joe… kamu bilang mungkin akan sulit melihat dunia jika
bersamamu itu… karena wujudmu seperti ini? Jadi kau hanyalah boneka?" tanyaku
pada… boneka Joe. Boneka pemberian Ayah sebelum Ayah meninggal.
Tentu saja tak ada jawaban.
"Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya Joe?"
Aku meraih boneka Ayah, tepatnya Joe. Memeluknya, dan membawanya
didepan jendela. Ku buka jendela sehingga pemandangan diluar dan angin sore
bisa masuk ke dalam kamar.
"Nah, kalau begini, aku bisa dengan mudah melihat dunia
bersamamu Joe… walau aku tak dapat mendengar suaramu lagi, tapi, kamu bilang akan
terus bersamaku kan? Sepertinya aku tak perlu khawatir lagi"
Lagi-lagi aku menitikkan air mata tanpa sadar. Aku segera menyeka
air mataku dengan Joeganku. Lalu menatap keluar jendela… melihat langit sore yang
indah, berwarna jingga yang sudah lama tidak kulihat.
"Joe, sepertinya aku tahu kenapa kamu mengenal Ayahku…"
…
"Aku pernah menonton cerita tentang roh yang merasuki
barang-barang tertentu. Apakah salah satunya kamu Joe? Sepertinya aku mulai mengerti.
Apa kau bertemu roh Ayahku disana? Kalau kalian bertemu, pasti sangat menyenangkan..
Ayah juga, apa Ayah yang menyuruh Joe menemaniku?"
…
"Kalau benar begitu, Joe sangat membantuku. Aku menyukai suara
itu. Suara milik Joe. Sampai kapan pun aku akan menyukai suara itu… Terima kasih,
Joe"
Aku menatap boneka Joe. Aku berharap Joe mendengarnya. Tapi, tetap
saja tak ada jawaban. Aku mulai menutup jendela karena hari mulai malam.
Setelah itu aku kembali meninggalkan kamar. Aku bermaksud mencari Mama dan
begitu aku akan menutup pintu kamar…. Saat aku berbalik untuk menutup pintunya…
Aku melihat boneka itu, Joe tersenyum.
Rasanya aku benar-benar tak percaya dengan kejadian ini. Aku
terpikir untuk menutup mata sekali lagi. Jika aku menutup mata, maka yang ada
hanya warna hitam kelam. 'Kegelapan'
"Selamat tinggal, Elena. Berbahagialah... Terima kasih sudah
percaya padaku"
Tes...
"Joe bodoh! Sampai kapan pun aku percaya kamu tahu!"
seruku, sambil kembali menyeka air mataku. Mendengar suara Joe, aku jadi menitikkan
air mata lagi... "Selamat tinggal Joe.."
Sekarang aku sudah tidak apa-apa. Walau sudah tidak bisa mendengar
suaramu lagi, aku tidak apa-apa. Terima kasih banyak... Joe. Akhirnya aku bisa
melihat warna-warni dunia Tapi, karenamu dunia yang berwarna hitam, jadi lebih
indah.
Terima kasih sudah memberiku secercah cahaya disana. Bukan, bukan
cahaya yang sesungguhnya... Tapi, Suaramu yang bagai cahaya itu.
-Selesai-